Siapa tidak kenal ungkapan paling populer ini? Simak bagaimana penerapannya secara positif bagi pengembangan diri.
Jika
Anda pernah berurusan dengan birokrasi swasta maupun pemerintah di
Republik ini, Anda pasti tidak asing dengan ungkapan i atas. Itulah
ungkapan yang menggambarkan buruknya sikap mental para birokrat yang
seharusnya punya kredo melayani publik, namun sebaliknya justru mereka
yang akhirnya harus dilayani publik. Tak heran jika kita mengurus
perizinan atau proses tertentu, maka dengan segala kelihaiannya para
birokrat itu akan mempersulitnya. Akibatnya urusan jadi bertele-tele dan
benar-benar menyita waktu. Jika kita takluk, maka mau tidak mau harus
merelakan sejumlah uang untuk mempercepat urusan tersebut. Kebiasaan ini
pula yang melestarikan mental korupsi di masyarakat kita. Jadi,
ungkapan kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah benar-benar menjadi
penyakit mental yang luar biasa mengesalkan dan merugikan.
Kalau
demikian adanya, bagaimana mungkin ungkapan tentang penyakit mental itu
bisa diaplikasikan secara positif? Bukankah jika semakin banyak orang
melakukannya, maka akan semakin runyam pula situasi yang kita hadapi?
Mari
sejenak membayangkan, misalnya saja Anda yang cenderung mudah sekali
kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya, segala hal yang Anda lakukan
jadi buruk hasilnya. Nah, seandainya saja ada formula yang membuat Anda
bisa ‘mempersulit’ munculnya rasa kurang percaya diri tersebut,
kira-kira akankah pekerjaan yang Anda lakukan bisa memberi hasil lebih
baik? Kemungkinan besar kinerja Anda akan lebih bagus hasilnya jika Anda
bisa melakukannya dengan penuh percaya diri. Jadi titik perhatiannya
adalah mempersulit munculnya rasa kurang percaya diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar